Search This Blog

Wednesday, April 20, 2016

Referensi Buku: Pragmatik (1)

Birner, Betty J. (2013). Introduction to Pragmatics (First Edition). Singapore: Wiley-Blackwell.


Buku ini memenuhi persyaratan yang mewakili buku teks terkait bahasan seputar linguistik, khususnya pragmatik. Tiap bab terdapat simpulan dan soal latihan atas pembahasannya. Berikut adalah beberapa bahasan di dalam buku ini; Gricean Implicature, Later Approaches to Implicature, Pressuposition, Speech Acts, dan Inferential Relations. Sub judul tiap bab juga kaya akan konten pembahasannya, seperti: Deixis and Anaphora pada bab “Reference”; “Face and Politeness” pada bab “Speech Acts”.

Brown P., dan Levinson S. (1987). Politeness: Some Universal in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.


Strategi kesantunan adalah strategi yang digunakan guna menghindari efek pengrusakan citra diri yang muncul akibat dari FTA yang dihasilkan oleh penutur. Nah, buku ini berisikan penjelasan tentang teori kesantunan yang telah disempurnakan oleh Brown dan Levinson. Brown dan Levinson (1987: 59 – 60) menyempurnakan teori kesantunan yang berpendapat bahwa setiap kalangan masyarakat memiliki ‘citra diri’ (face), sebagai gambaran dirinya di hadapan publik. dengan tujuan untuk mengurangi ancaman. Brown dan Levinson dalam Birner (2012: 303) membagi citra diri menjadi dua bagian, yaitu citra diri positif (Positive Face) dan citra diri negatif (Negative Face). Citra diri positif bermakna kepribadian dan termasuk juga keinginan seseorang agar pencitraan dirinya diterima dan dihargai oleh orang lain dalam suatu kalangan, tentunya citra diri ini berbeda dalam setiap budaya, karena hal tersebut bergantung pada pandangan budaya setempat. Citra negatif termasuk pada aspek tuntutan dasar terhadap kepemilikan pribadi dan ruang pribadi, hak untuk tidak ingin diganggu, untuk mandiri dan memiliki kebebasan bertindak.

Cruse, Allan. (2006). A Glossary of Semantics and Pragmatics. Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd.


Buku ini menawarkan kemudahan bagi peneliti dalam menemukan kosakata sulit mengenai kajian semantik dan pragmatik. Istilah sulit yang dijelaskan pada buku ini dapat memberikan pemahaman secara cepat dan tepat ketika peneliti mengalami kesulitan dalam mendefenisikannya. Buku ini mengilustrasikan definisi istilah dengan bahasa yang mudah dimengerti dalam memahami konsep pragmatik dan studi makna.

Edwards, John. (2009). Language and Identity an Introduction. Cambridge: Cambridge University Press.


Bahasa merupakan salah satu aspek terpenting dan merupakan bagian dalam menentukan jati diri kita. Buku ini menggambarkan hubungan identitas manusia dikalangan sebuah grup tertentu, misalnya etnik, nasional, religi dan gender, dan variasi bahasa pun akan timbul. Selain itu, buku ini juga menyediakan informasi mengenai dasar pemahaman terhadap bahasan bahasa terkait identitas. Diawali dengan penjelasan mengenai definisi bahasa, definisi dialek, pembahasan mengenai hak-hak kebahasaan (language rights), bahasa unik yang ditemukan pada sekelompok grup tertentu, bagaimana bahasanya, apakah harus sebuah grup memiliki bahasa yang unik dan berbeda satu sama lain dan seberapa pengaruhnya terhadap perkembangan kebahasaan.

Bagian yang membuat buku ini patut untuk dijadikan rujukan adalah karena adanya pembahasan mengenai bagaimanakah suatu bahasa itu, baik dalam skala kecil, menengah dan besar digunakan untuk menyebarkan sebuah ideologi. Buku ini juga mencoba menjawab kenapa setiap keyakinan memiliki tanda bahasa atau tanda linguistik yang sifatnya central dan terintegrasi, sehingga menjadikan sesama pengguna bahasanya bisa peduli satu sama lain. Dengan memfokuskan pembahasan terkait dialek, identitas, religi, etnik dan alegansi nasional, buku ini banyak memberikan contoh dan tentunya akan membantu dalam menambah wawasan kebahasaan kita.

Gunarwan, Asim. (2007). Pragmatik: Teori dan Kajian Nusantara. Jakarta: Penerbit Universitas Atmajaya.



Buku ini mencangkup hampir segala aspek pragmatik dan menyediakan paparan teori-teori pragmatik yang selalu digunakan dalam kajian ilmu linguistik. Terlebih terdapat contoh-contoh penelitian terkait bidang pragmatik. Buku ini tentu menjadi rujukan yang tepat karena terdapat penjelasan yang dibutukan dalam sebuah kajian pragmatik. Buku ini dituliskan dalam Bahasa Indonesia tetapi kontennya sangat kaya informasi. Dalam buku ini terdapat penjelasan mengenai teori kesantunan, juga diawali dari prinsip kerja sama yang dikemukakan oleh Grice, yaitu (1) maxim quantity: mengatakan sesuatu seperlunya, (2) maxim quality: mengatakan apa yang diyakini benar, (3) maxim of relation: mengatakan sesuatu yang relevan, (4) maxim manner: mengatakan sesuatu yang jelas dan lepas dari unsur ambiguitas. Unsur be polite meliputi dua hal, yaitu (1) tidak ada unsur paksaan terhadap mitra tutur, memberikan pilihan, dan (2) menunjukkan keakraban.

Selain itu ada juga Leech yang merumuskan teori kesantunan berbahasa. Ia merumuskan dua sistem pragmatik, yaitu retorika teks dan retorika interpersonal. Retorika teks mengacu pada prinsip kejelasan, ekonomi dan ekspresif. Retorika interpersonal menurutnya paling tidak terdiri dari tujuh maksim yang tertuju pada mitra tutur. Gunarwan (2007:303) hanya menampilkan enam maksim di dalam bukunya, yaitu (1) maksim kebijaksanaan, (2) maksim kemurahan hati, (3) penerimaan dengan baik, (3) kesederhanaan, (4) persetujuan, (5) simpati dan (6) pertimbangan. Kemudian teori mengenai kesantunan ini disempurnakan oleh Brown dan Levinson (1987: 59 – 60) yang berpendapat bahwa setiap kalangan masyarakat memiliki ‘citra diri’ (face), sebagai gambaran dirinya di hadapan publik.

By: Seradona

Sunday, April 3, 2016

Sebuah Ringkasan (Filsafat): Nietzsche

 RIWAYAT KEHIDUPAN NIETZSCHE

                
Friedrich Wilhelm Nietzsche dilahirkan di Rӧcken, Prusia, 15 Oktober 1844, bertepatan dengan tanggal lahirnya raja Prusia yang sangat dikagumi Ayahnya, Friedrich Wilhelm IV. Oleh karenanya, ayahnya memberikan nama yang sama. Nitzsche sangat bersyukur dilahirkan pada tanggal tersebut. Karena setiap tahunnya dirayakan sebagai hari besar oleh mayarakat. Itulah yang menjadi kenangan terakhir dari seorang ayah yang paling diingatnya. Ayahnya meninggal di saat Nietzsche masih kecil dan sangat membutuhkan bimbingan.


Ia dilahirkan  dan dibesarkan di lingkungan keluarga pendeta. Ayahnya adalah seorang pendeta terkemuka dan ibunya adalah seorang penganut Kriten yang taat. Sepeninggalan ayahnya, ia berada penuh dalam pengasuhan sang ibunda. Ia tumbuh sebagai anak yang lemah lembut karena pengasuhan dominan seorang wanita. Nietzsche dikenal sebagai anak baik, tidak nakal seperti anak-anak seumurannya. Ia justru membenci teman-temannya yang nakal, suka mencuri, bermain perang-perangan, melakukan hal yang tidak bernilai dan menceritakan kebohongan. Dalam kehidupan bertetangga, ia dikenal sebagai anak pemalu yang sedikit berbicara dan jarang memulai pembicaraan. Oleh karena itu ia dijuluki teman-temannya sebagai “pendeta cilik” atau “Jesus yang hidup kesepian di biara”.  Sejak kecil, Nietzsche menyukai kesunyian. Ia senang menyendiri, merenung dan gemar sekali membaca Bible ditengah kesunyiannya itu. Setelah membaca Bible, ia kemudian menceritakan isinya dan bahkan tidak berkeberatan membacakannya untuk orang lain. Di dalam dirinya terdapat semangat untuk menyebarkan kebaikan.


Bertolak dari ketidakpercayaan, ejekan teman-teman dan orang-orang disekeliling hidupnya yang meragukan dirinya yang berfisik lemah dan sakit-sakitan, Nietzsche seakan kehilangan arah hidupnya.  Ia lalu menjadi orang yang sinis terhadap dunia. Tetapi siapa yang menyangka bahwa dibalik perawakannya yang lemah lembut dan ringkih, ia sebenarnya adalah sosok berpengaruh dalam alam filsafat, khususnya di benua Eropa.  Ketika ia beranjak usia 18 tahun, kepercayaan terhadap Tuhan sirna. Padahal dahulunya, agama merupakan sumsum kehidupan bagi dirinya. Setelah itu, hidupnya dihabiskan untuk pencarian Tuhan yang baru. Kemudian ia menemukan Tuhan yang baru dalam Manusia Unggul (ϋbermensch). Hal ini sepintas terlihat janggal karena ia tumbuh kembang di lingkungan pendeta dan mungkin saja bentuk negasinya terhadap tuhan adalah gejolak seorang anak remaja yang bersifat sementara. Tetapi kenyataanya, hal ini berlangsung terus menerus dan inilah yang menjadi titik awal perjalanannya sebagai seorang ahli filsafat.

       
Di usianya yang keduapuluh tiga, Nietzsche pernah bergabung di kemiliteran. Sebuah kecelakaan terjadi, Nietzsche jatuh dari kuda yang ditungganginya dan membuat dirinya harus meninggalkan dunia kemiliteran. Kemudian, dari kehidupan kemliteran yang keras, penuh kedisiplinan, Nietszche beralih menjadi akademisi handal di Universitas Basle. Ketika usianya mencapai angka duapuluh lima tahun, ia menjadi seorang ahli bahasa (filolog), Doktor Filsafat (Ph.D) di sana. Nietzsche pada dasarnya merupakan sosok yang menyenangi profesi yang heroik, aktif dan praktis. Ia tidak suka hanya duduk dibelakang meja. Titik awal ketidaksukaanya sebagai guru besar di sebuah universitas disebabkan karena universitas-universitas sebagian besar sudah bersifat chauvinistic, teramat banyak filsuf yang hanya dijadikan alat ampuh pemerintah untuk mendukung kekeliruan dan kebohongan. Ia pun membuat buku tentang ini yang berjudul “The Thoughts out of Season”.


Di tengah kepenatan dan kebosanannya terhadap profesinya saat itu, Nietzsche mulai menggemari musik dan maniak terhadapnya. “Tanpa musik, hidup merupakan suatu kekeliruan”. Kemudian, Richard Wagner yang bertempat tinggal tidak jauh dari kediaman Nietzsche mengundangnya untuk merayakan Natal bersama. Wagner, seorang musisi besar sangat menyambut baik Nietzsche, seorang tokoh akademis terkemuka yang memiliki antusias terhadap  musik-musik masa depan. Dengan memanfaatkan nama besar seorang musisi,  Nietzsche mulai menulis buku pertamanya, dimulai dari drama Yunani Kuno dan diakhiri dengan The Ring of Nibelmungs yang memberitahukan tentang Wagner pada dunia sebagai Aeschyclus. Bermula dari sinilah, Neitzsche dikenal sebagai seorang seniman yang menghasilkan beberapa buku dan karya seni.


DASAR PEMIKIRAN FILSAFAT OLEH NIETZSCHE

Berdasarkan pemikiran filsafatnya, banyak yang mengatakan bahwa Nietzsche adalah anak dari Darwin dan saudara laki-laki dari Bismarck. Nietzsche mengembangkan filsafat etika berdasarkan teori evolusi. Rumusan “survival of the fit test” pada kenyataannya sangat mempengaruhi pemikiran-pemikiran Nietzsche mengenai manusia dan kemanusiaan. Nietzsche menganggap bahwa yang kuatlah yang akan menang dan bertahan. Baginya, hidup adalah perjuangan untuk menunjukkan eksistensi, dimana manusia yang lebih pantaslah yang berhak hidup dan melangsungkan kehidupannya. Maka kebajikan paling utama di sini adalah kekuatan. Apa yang dinyatakan baik , haruslah kuat, menang, berjaya; sebaliknya segala sesuatu yang lemah adalah buruk, salah, terpuruk dan kalah.  


Hidup adalah arena bertarung bagi makhluk hidup untuk bisa terus bertahan dan melangsungkan kehidupannya. Dalam pertarungan ini, manusia tidak membutuhkan kebaikkan melainkan kekuatan, bukan kerendahan hati melainkan kebanggaan terhadap diri sendiri, bukan altruisme melainkan kecerdasan yang tinggi. Nietzsche merupakan contoh tokoh filsafat yang menekankan logika kekuasaan pada kehidupan manusia. Ia mengatakan bahwa hukum yang berlaku di kehidupan  bukanlah hukum artificial buatan manusia, tetapi hukum alamlah yang lebih berperan. Jika semua itu adalah benar, menurut Nietzsche tidak ada manusia yang lebih bermakna dan hebat selain manusia yang diutarakan oleh Bismark, ia adalah seorang yang jujur dan sangat paham akan kenyataan hidup. Nietzsche sangat mengagumi apa yang diucapkan oleh Bismark, yang menegaskan “tidak ada altruism di mana pun di dunia ini (dalam pergaulan antar bangsa)”. Permasalahan dan isu-isu dalam masyarakat menurutnya tidak bisa semerta merta diselesaikan dengan jalan damai, perundingan, pemungutan suara, retorika atau musyawarah untuk mufakat, melainkan dengan darah dan besi/baja.


Pemikiran Darwin dan Bismark ini merupakan suatu pemikiran yang sangat  berani. Tidak ada satu orang manusia pun yang berpikiran seberani kedua tokoh tersebut, dikarenakan penelitian mereka jauh dari common sense dan kemanusiaan. Tetapi, Nietzsche dengan penuh keberanian dan kepercayaan diri memiliki kehebatan yang melebihi kedua tokoh favoritnya itu. Ia berani mengembangkan filsafat yang membenarkan pemikiran Darwin dan Bismark bukan hanya bertolak belakang dengan common sense dalam kehidupan masyarakat tetapi juga bertolak belakang dengan agama. Nietzsche inilah yang merupakan filsuf yang semasa kehidupannya selalu memicu peperangan. Menurut Nietzsche perang adalah gejala yang wajar dalam menentukan siapa bangsa yang bertahan dan siapa yang harus menerima kekalahan.

MANUSIA UNGGUL (ϋbermensch)
Menurut Nietzsche, dalam interaksi manusia di dunia ini yang harus ditumbuhkan adalah manusia-manusia agung, ϋbermensch, superman, yang memiliki kekuatan di atas rata-rata manusia biasanya. Ia mengatakan bahwa tujuan kemanusiaan tidak terletak pada peningkatan kualitias hidup manusianya saja melainkan perkembangan individu-individu unggul, yaitu bagaimana menciptakan manusia-manusia besar yang lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih berani. Nietzsche berpendapat bahwa manusia unggul tidak dilahirkan oleh alam karena alam tidak berpihak pada manusia-manusia unggul, alam hanya bersikap baik pada manusia-manusia yang memiliki kemampuan standar (sedang-sedang saja). Oleh sebab itu, manusia unggul hanya dapat bertahan hidup melalui seleksi manusia (human selection), perbaikan kecerdasan (eugenic foresight) dan pendidikan yang meningkatkan derajat dan keagungan manusia.


Nietszche mengatakan bahwa, Kekuatan, Kecerdasan dan Kebanggaan atas diri sendiri merupakan suatu kesatuan yang harus selaras. Kekuatan saja tanpa dibekali kecerdasan yang mempuni maka itu tidaklah cukup. Begitu pula kecerdasan saja tanpa ada kebanggaan atas diri sendiri dan kekuatan diri maka tidak akan cukup untuk menumbuhkan seorang yang agung. Dengan kata lain, menurut Nietzsche, manusia agung hanya ditumbuhkan oleh gabungan yang harmonis antara ketiga hal tersebut; Kekuatan, Kecerdasan, dan Kebanggaan. Nietzsche mengatakan, “Kesengsaraan bagi para pemikir ibarat tanah subur bagi tanaman”, siapa yang seluruh tingkah lakunya hanya mengikuti impuls-impulsnya, mereka adalah individu-individu yang lemah dan bodoh, yang kurang memiliki kekuatan untuk bertahan hidup, yang tidak bisa berkata “tidak”, pecundang dan mereka adalah manusia dekaden.
           
Hal yang terbaik untuk menciptakan manusia unggul yang hakiki yaitu dengan mendisiplinkan diri sendiri. Jika kita sebagai manusia unggul ingin memiliki kekuasaan ditengah himpitan massa, maka Nietzsche mengatakan dengan tegas, bahwa manusia janganlah sesekali memanjakan dirinya sendiri. Manusia harus bersikap tegas dan keras pada orang lain tetapi terutama terhadap dirinya sendiri. Manusia adalah mesin yang bisa mengatur dan mengarahkan dirinya untuk menuju sosok individu yang unggul dan bukan orang lain. Hal yang paling mulia mengenai konsep manusia unggul menurut Nietzsche yaitu individu/manusia unggul harus memiliki visi dalam menggapai segala yang diinginkan, kecuali berkhianat pada teman sendiri. Inilah tanda kemuliaan, rumus akhir Manusia Unggul.  

ARISTOKRASI MENURUT NIETZSCHE

Nietzsche menganggap bahwa sistem aristokrasi sangat diperlukan. Sehubungan dengan jalan fikirannya, maka aristokrasi yang ia maksud tidak berdasarkan ketemurunan melainkan aristokrasi yang dipimpin oleh manusia-manusia yang memenuhi syarat-syarat keagungan. Dalam hal ini, bukan berarti manusia-manusia biasa tidak bisa menjadi pemimpin atau berada pada posisi atas, tetapi fenomena ini memang sudah ada sejak dahulu, dari zaman ke zaman. Sejarah kemanusiaan di mana pun telah membuktikan bahwa struktur yang ada dalam masyarakat pasti didasari pada siapa yang berkuasa dan siapa yang tidak. Struktur masyarakat yang sudah terbentuk bisa dengan mudah dibaca polanya. Dengan kata lain, masyarakat di dunia ini terdiri dari golongan pemimpin dan golongan yang dipimpinnya.

                  
Konsep utama aristokrasi menurut Nietzsche yaitu Demokrasi sebagai penyimpangan dan penyelewangan terhadap kodrat alam. Menurut Nietzsche, demokrasi merupakan suatu sistem yang memiliki gejala busuk dan ketidakmungkinan terciptanya manusia unggul dan bangsa-bangsa besar. Nietzsche mengatakan, “Masyarakat demokratis adalah masyarakat tanpa karakter, yang menjadi figur bukanlah manusia superior, melainkan manusia mayoritas; setiap orang berusaha untuk meniru orang lain; juga dalam seks, laki-laki menjadi perempuan dan perempuan menjadi laki-laki.” Demokrasi adalah suatu mania belaka, di mana setiap orang bersaing sambil berteriak sama rata dan sama rasa. Menurut Nietzsche, seharusnya manusia bersaing karena mereka berbeda satu sama lain. Terlihat jelas bahwa demokrasi ini bertentangan dengan kodrat alam, yaitu diferensiasi. Menurutnya peradaban manusia ideal adalah yang menyerupai piramida.


“A high civilization is a pyramid; it can stand only upon a broad base; its prerequisite is a strongly and soundly consolidated mediocrity”

(Perdaban yang tinggi adalah piramida; ia hanya bisa bertahan atas suau landasan yang luas; prasyaratnya ialah hal-hal tanggung yang dikonsolidasikan secara tangguh dan ampuh)


Demokrasi hanyalah seputar perdagangan dalam dunia antarbangsa. Menurutnya, demokrasi bukanlah jalan untuk mencapai perdamaian. Sebaliknya justru akan menciptakan pertikaian dan peperangan. Nietzsche menganggap, perdamaian bisa dicapai apabila bangsa yang lemah menerima kepemimpinan bangsa agung dan mengakui bahwa bangsanya lemah atau kalau tidak maka harus ditempuh dengan jalan perang (penaklukan). Bangsa yang agung, punya kuasa, kuat, bermatabatlah yang bisa menduduki posisi puncak. Begitulah bagaimana Nietzsche menolak adanya kesamaan hak dalam hubungan antarbangsa.
                  
Pada tahun 1887, dalam sebuah karyanya, Nietzsche mengatakan bahwa lima puluh tahun kemudian Negara-negara demolrasi yang dianggapnya pemerintahan kaum dagang, akan terlibat sengketa dan pertikaian yang pemicunya adalah kepentingan dagangnya msing-masing. Menurutnya, “ Democracy country will clash a gigantic war for the markets of the world”. Oleh karena pemikiran ini, banyak orang menghubung-hubungkan pemikiran Nietzsche ini dengan kebangkitan Naziisme di Jerman. Tetapi hal ini belum bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

                  
Feminisme adalah salah satu akibat dari demokrasi dan Kristianitas. Emansipasi dan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan adalah tidak mungkin menurut Nietzsche. Jika hal ini terus diperjuangkan sekalipun maka tidak akan pernah ditemukan jalan keluarnya. Amatlah berbahaya menyamakan perempuan dan laki-laki. Laki-laki kodratnya tidak bisa disubordinasikan (ditundukkan). Satu-satunya yan bisa menjadi kesempurnaan dan kebahagian bagi perempuan seharusnya adalah sifat “keibuannya”. Nietzsche mengungkapkan, selain feminisme terdapat pula sosialisme dan anarkisme yang keduanya juga merupakan sampah demokrasi.

                  
Sosialisme, menurutnya adalah antibiologis. Sosialisme adalah bohong dan iri hati. Di dalam sosialisme, manusia diatur dan dikontrol. Apa yang manusia miliki dirampas, direnggut dan dianggap “milik bersama”. Anarkisme timbul akibat adanya kebebasan yang tidak terkontrol. Budak-budak bisa dengan leluasanya mengadakan aksi pemeberontakan terhadap atasan atau pemimpinnya. Bagaimana pun kondisinya manusia tidaklah akan pernah sama karena memang tidak memiliki apapun yang bisa dikatakan sama. Alam benci persamaan. Alam menyukai perbedaan, kelas-kelas dan spesies-spesies.


ZARATHUSTRA
Sebelum tercipta Zarathustra, Nietszche menulis beberapa buku, diantaranya The Dawn of Day (1881) dan The Joyful Wisdom (1882) ditengah kondisi badannya yang semakin lemah karena sakit-sakitan Ketika kondisinya lemah, Nietzsche mendapatkan dirinya jatuh cinta pada seorang wanita bernama Lou Salome. Tetapi, malangnya nasib Nietzsche bahwa cintanya ditolak karena sang pujaan melihat masa depan Nietzsche sebagai filsuf akan suram. Ia putus asa, kehilangan semangat dalam hidupnya. Kemudian ia menyusun aporisme yang menentang perempuan. Hal ini merupakan obat luka lara dan menyuarakan kebajikan atas penipuan diri. Semenjak itu, Nietzsche tidak lagi mencintai laki-laki ataupun perempuan melainkan sangat berharap dapat menemukan manusia unggul. Lalu, ia pergi menuju ketinggian Alps di Sils-Maria. Disanalah, datang inspirasi yang mengilhami karya terbesarnya.

                  
Nietzsche mengalami kensunyian dan kesepian yang luar biasa. Walter Kaufmann, seorang penafsir yang terkenal dan telah menerjemahkan karyua-karya Nietzsche mengatakan bahwa “…petunjuk terpenting untuk memahami Zarathustra ialah bahwa itu adalah karya seorang yang sangat kesepian”. Dendang Zarathustra (Thus Spoke Zarathustra, 1883) adalah karya Nietzche yang dianggap paling unggul. Disinilah Nietszche seperti mencapai puncak ketinggiannya. Dendang Zarathusatra ini ditulis Nietzsche sewaktu ia menghabiskan hari-harinya dalam keheningan di puncak pegunungan Alps. Seolah-olah ia ingin melampiaskan segala isi jiwanya ke dalamnya, kemarahan yang dahsyat, humor yang halus dan penghayatan manusiawi yang dapat ditemukan dalam karya ini.



Aku duduk  di sana menunggu – menunggu ketiadaan
Di luar kebaikan dan kejahatan, kunikmati 
Cahaya, yang kini tinggal bayangan; di sana hanya ada Cahaya,
Tengah hari, dan waktu tanpa akhir
Lalu, sahabatku, secara tiba-tiba dari satu menjadi dua,
dan Zarathustra melintas persis di dekatku.
                  
Terlihat jelas sekali bahwa Nietzsche adalah sosok yang antisosial. Ia gagal dalam kehidupan pergaulannya terhadap sesama manusia. Hal inilah yang menyebabkannya mengasingkan diri dan telah membuat Nietzsche berhadapan dengan dirinya sendiri. Nietzsche yang berhadapan dengan dirinya sendiri dijelmakan dalam imago Zarathustra. Oleh karena itu dalam Zarathustra ditemukan semacam monologi: yaitu suatu percakapan Nietzsche dengan dirinya sendiri.

                  
Nietzsche yang telah kehilangan kepercayaan terhadap Tuhan, rupa-rupanya telah menemukan sosok Tuhan yang baru dalam Zarthustra. Maka sekarang, “jiwaku membludak dan menghanyutkan apa saja yang kujumpai.” Ia sekarang menemukan seorang guru baru –Zoroaster; satu dewa baru-Manusia Unggul; dan sebuah agama baru. Sejak pertemuannya dengan Tuhannya yang baru, maka Nietzsche tidak henti-hentinya menguras segala potensi diri untuk mengungkapkan alam fikirannya. Filsafatnya sekarang berupa puisi yang menginspirasi. Dalam Ecce Homo, Nietzsche menulis:

                                                                                    

“This work stands altogether apart. Leaving aside the poets; perhaps nothing has ever been done from an equal excess of strength. Let anyone add up the spirit and good nature of all great soul; all of them together would not be capable of producing even one Zaarathustra’s discourses.”

(Karya ini adalah tunggal. Janganlah ia sebut senafas dengan para penyair lainnya; mungklin tiada karya yang pernah dihasilkan dengan kekuatan yang sedemikan berlimpah-limpah. Kalau semangat dan kebajikan semua jiwa yang besar dihimpun jadi satu, tak mampu himpunan itu menciptakan satu percakapan Zarathustra)
                  
Ujaran tersebut memang terdengar angkuh. Namun, tidak ada yang bisa menyangkal kekhasan Dendang Zarathustra ini. Dendang Zarathustra merupakan karya seni sekaligus karya filsafat. Terdapat berbagai macam peristiwa, fenomena, gejala manusia dan kemanusiaan di dalamnya. Jika orang menyebuitkan Nietzsche maka tidak akan pernah lepas dari karyanya yang maha agung ini, Dendang Zrathustra. Berkat Nietzsche, imago Zarathustra yang telah terbenam dalam sejarah kuno Persia kini dibangkitkan kembali dengan gairah yang luar biasa kuatnya. Beberapa judul dalam bagian-bagian Zarathustra itu pun memberi petunjuk kehidupan, misalnya The Night Song, The Dancing Song, The Tomb Song, The Song of Melancholy, The Drunken Song.
                  
Dalam Zarathutsra juga terdapat penyataannya mengenai kematian Tuhan, menurutnya, sudah tiba waktu bagi manusia untuk menentukan tujuan bagi dirinya sendiri. Sudah tiba saatnya bagi manusia untuk menanam bibit harapannya yang seagung-agungnya. Ia berkata, bahwa jadilah manusia agung, ibarat samudera yang luas yang tidak akan pernah luntur oleh karena harus menampung arus sungai yang keruh. Manusia harus terus menerus mencipta tak henti-hentinya. Namun untuk menjadi kreator diperlukan penderitaan dan banyak perubahan. Bagi Bietzsche, mencipta adalah hal yang sangat mungkin dilakukan manusia karena menurutnya Tuhan-tuhan sudah mati, sudah lama sekali mati. Menurutnya, manusia baru akan bisa menjadi agung apabila mereka sudah sanggup menerima berita kematian Tuhan. Nietzsche muak dengan kebanyakan para pendeta yang selalu mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang berdosa. Dengan matinya tuhan, maka nistalah apa yang disebut dosa. Ia menganggap, manusia yang rela menjalani hidupnya dalam serba kedosaan , menerima hidup ini sebagai suatu dosa belaka adalah mereka yang lemah dan tidak berharga untuk bertahan dalam kehidupannya. Padahal kehidupan adalah sesuatu yang harus dihayati sedalam-dalamnya.

                  
Tetapi, Nietzsche tidak begitu saja puas dengan menciptakan Tuhan dalam imajinasinya. Ia pun membuat dirinya kekal. Setelah kelahiran Manusia Unggul, datanglah Kebangkitan Abadi, yaitu segala sesuatu akan kembali lagi, terulang lagi tanpa batas waktu.Segenap unsur dalam kenyataan kehidupan adalah terbatas, akan tetapi waktu tidak terbatas. Suatu hari kehidupan akan musnah dan materi yang musnah akan muncul kembali seperti sediakala. Ia menyakini bahwa pengulangan itu pasti dan sejarah pasti terulang kembali.



 AKHIR KEHIDUPAN NIETZSCHE
Pada akhir hidupnya Nietzsche harus dirawat di rumah sakit jiwa, tetapi ibunya tidak tega dan membawanya pulang dan dirawat sendiri. Ketika ibunya telah meninggal, Nietzsche dirawat oleh saudaranya, Elizabeth. Pada usia yang masih relatif muda, tidak terlalu lanjut, pada tanggal 25 Agustus 1900 tepatnya, filsuf besar ini menghembuskan nafas terakhir di Weimar, meninggalkan karya-karya yang sampai saat ini tidak akan pernah usang dan termakan oleh waktu. Karya-karyanya bahkan bisa dinikmati berulang-ulang.


Sebuah Ringkasan dari berbagai sumber

by: Seradona

Hubungan Semantik, Pragmatik, dan Sosiolinguistik

Semantik, Pragmatik dan Sosiolinguistik saling berkaitan satu sama lain. Ketiganya merupakan subdisiplin dari ilmu Linguistik. Semantik adalah ilmu yang mempelajari tentang makna dalam bahasa (Lyons, 1995: 3). Hurfords, et.al. (2007) dalam bukunya Semantic a Course Book second edition juga mendefinisikan semantik sebagai subdisplin yang mengkaji makna bahasa. Makna sebuah kata dalam hal ini di refleksikan sebagai pola karakteristik semantik secara gramatika berdasarkan konteks (cruse, 1986 : 15). Dengan kata lain, makna tersebut tercermin dan dibentuk dari hubungan kontekstual di dalamnya. Jadi, dapat dikatakan bahwa, makna kata dalam semantik menurut cruse dipengaruhi oleh hubungan kontekstual tanpa pengaruh dari situasi nyata penggunaannya. Hal ini sejalan dengan pengertian semantik yang diungkapkan oleh Leech (1982: 5) bahwa semantik adalah ilmu yang mengkaji makna sebagai ciri ungkapan suatu bahasa yang tidak berkaitan dengan situasi ujar, penutur, dan petutur.
                        
Semantik, Pragmatik dan Sosiolinguistik saling berkaitan satu sama lain. Ketiganya merupakan subdisiplin dari ilmu Linguistik. Semantik adalah ilmu yang mempelajari tentang makna dalam bahasa (Lyons, 1995: 3). Hurfords, et.al. (2007) dalam bukunya Semantic a Course Book second edition juga mendefinisikan semantik sebagai subdisplin yang mengkaji makna bahasa. Makna sebuah kata dalam hal ini di refleksikan sebagai pola karakteristik semantik secara gramatika berdasarkan konteks (cruse, 1986 : 15). Dengan kata lain, makna tersebut tercermin dan dibentuk dari hubungan kontekstual di dalamnya. Jadi, dapat dikatakan bahwa, makna kata dalam semantik menurut cruse dipengaruhi oleh hubungan kontekstual tanpa pengaruh dari situasi nyata penggunaannya. Hal ini sejalan dengan pengertian semantik yang diungkapkan oleh Leech (1982: 5) bahwa semantik adalah ilmu yang mengkaji makna sebagai ciri ungkapan suatu bahasa yang tidak berkaitan dengan situasi ujar, penutur, dan petutur.

Pragmatik juga merupakan subdisplin Linguistik yang mempelajari tentang makna. Walaupun sama dalam mengkaji makna bahasa, tetapi makna yang dikaji dalam kajian pragmatik adalah makna bahasa dan penggunaannya dalam konteks yang nyata atau bagaimana bahasa itu digunakan dalam keseharian. Parker (1986) mendefinisikan pragmatik sebagai ilmu yang mengkaji makna bahasa dan bagaimana bahasa tersebut digunakan dalam komunikasi. Sehingga dalam hal ini, pragmatik mempelajari makna bahasa dan hubungannya dengan situasi-situasi ujar yang dituturkan oleh penutur  sedangkan semantik tidak terlalu terkait dengan kajian konteks situasi penggunaan bahasa dan penutur (Leech, 1983). Dalam pragmatik, terlihat jelas bahwa situasi ujar, penutur dan petutur menjadi objek kajian yang turut mempengaruhi makna bahasa.

Sosiolinguistik merupakan subdisiplin linguistik yang berkaitan dengan sosiologi dalam masyarakat. Kajian sosiolinguistik mencangkup bagaimana suatu bahasa sangat berhubungan dengan kondisi masyarakat/pengguna bahasa dalam sebuah komunitas tertentu. Penggunaan bahasa pada suatu komunitas masyarakat dengan komunitas masyarakat lain bisa berbeda satu sama lain bergantung pada faktor-faktor sosial di dalamnya (Aitchison, 1992).

Hubungan antara semantik, pragmatik dan sosiolinguistik bisa ditarik benang lurus berdasarkan masing-masing definisinya. Semantik dan pragmatik, keduanya merupakan kajian tentang makna bahasa, hanya saja berbeda objek kajianya. Semantik, kajian makna bahasa sesuai hubungan kontekstual (makna bahasa satu dengan makna bahasa lainnya tanpa pengaruh dari situasi ujar, penutur, penutur), dan ketika sudah memasuki ranah pragmatik, makna bahasa tersebut akan dikaji sesuai dengan situasi ujar dan bagaimana bahasa tersebut digunakan dalam komunikasi nyata. Pragmatik dan sosiolinguistik, hubungannya sama-sama mempelajari bagaimana suatu makna bahasa itu dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dalam masyarakat atau komunitas tertentu. 

by: Seradona

Semantik dalam Morfologi

Para linguis dari zaman kuno hingga para linguis moderen dalam penelitiannya mengenai bahasa selalu bertolak ukur pada bentuk dan makna suatu bahasa, baik itu kata ataupun frase. Bentuk suatu bahasa tidak akan bisa lepas dari makna yang melekat padanya. Ketika hubungan morfologi dengan sintaksis dapat dilihat secara jelas dalam proses infleksi, hubungan morfologi dengan semantik justru akan terlihat jelas jika ditinjau dari proses derivasi. Haspelmath (2002:166) mengutarakan sebuah contoh kata yaitu undoableUndoable merupakan derivasi dari kata do yang mendapat penambahan prefiks –un dan sufiks –able. Secara sintakmatik kata undoable dapat memiliki dua struktur pembentukan kata:
       
       
Dilihat dari contoh di atas, terdapat dua cara pembentukan kata secara sintakmatik yang kemudian menghasilkan lebih dari satu arti atau makna. Secara sintakmatik Undoable 1 memiliki kata dasar doable, ditinjau dari segi semantik memiliki arti yang sama seperti kata unhappy, uninteresting, unequal dan memiliki segmentasi un + doable. Segmentasi ini menderivasi sebuah makna memiliki atau tidak memiliki kualitas (having quality – not having quality) ditinjau dari penambahan prefiks -unUndoable 2 berbeda dengan yang pertama. Pada kata undoable 2 secara sintakmatik yang menjadi kata dasarnya adalah undo yang artinya berkorelasi dengan readable, washable, approachable, believable dan memiliki segmentasi undo + able. Tentunya segmentasi ini berkorelasi dengan arti atau makna sufiks –able dalam  menyatakan kemampuan dalam menyelesaikan sesuatu (capable of being done). Terakhir, hubungan undo dan do dapat juga dilihat pada kata uncover, unfold, untie yang memiliki arti atau makna memutarbalikkan efek suatu pekerjaan (reserve the effect of doing).
                 
Dari uraian di atas, sangat jelas tergambarkan bahwa morfologi, sintaksis dan semantik sangat berkorelasi satu sama lain. Semantik itu sendiri merupakan studi mengenai makna. Makna di dalam semantik dapat berupa makna kata secara khusus ataupun makna holistik kata di dalam sebuah kalimat dan wacana.

Sumber Referensi
Haspelmath, Martin. 2002. Understanding Morphology?. Oxford: University Press.

By: Seradona

Hubungan Sintaksis dan Morfologi


Morfologi merupakan kata yang berasal dari kata “morf” (bentuk) dan “logos” (ilmu), jadi Morfologi adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari tentang bentuk. Arronof dan Fudeman (2005) di dalam bukunya What is Morphology mengutarakan definisi Morfologi pada Linguistik berbeda dengan Morfologi pada ilmu Biologi dan Geology.  Jika di Biologi, morfologi merupakan studi mengenai bentuk dan struktur organisme, di Geologi, morfologi merupakan kajian mengenai evolusi pembentukan alam semesta, di Linguistik, morfologi mengarah pada studi pembentukan sistem formasi kata. Oleh karenanya, Morfologi dalam Linguistik bermain dalam ranah kata, struktur internal kata dan bagaimana kata-kata itu terbentuk (Arronof dan Fudeman, 2005: 1).

Tidak jauh berbeda dengan Arronof dan Fudeman, Haspelmath (2002:1) juga mengatakan morfologi sebagai studi yang mempelajari struktur internal kata. Di dalam bukunya Understanding Morphology, ia secara lebih spesifik mengutarakan dua macam definisi morfologi, yaitu 1) Morfologi sebagai studi tentang variasi sistematik bentuk dan arti kata, dan 2) Morfologi sebagai studi yang mempelajari kombinasi morfem-morfem pembentuk kata. Definisi kedua terlihat lebih mudah dipahami dibandingkan definisi pertama. Pada definisi pertama, pengertian morfologi hampir sama dengan pegertian sintaksis yang didefinisikan sebagai studi mengenai gabungan sistematik kata dalam pembentukan kalimat.

Dapat dilihat bahwa morfologi dan sintaksis adalah dua studi Linguistik yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain. Menurut Booij (2005:185) ditinjau dari isu demarcation (fix to limit of something), morfologi berkaitan dengan struktur kata, dan sintaksis berkaitan dengan struktur kalimat. Dengan kata lain, morfologi akan mengkaji kata dan morfem-morfem pembentuknya, sedangkan sintaksis akan  mengkaji wacana, klausa, kalimat, frase.  Para linguis sepakat bahwa morfologi memiliki konstituen terkecil yaitu morfem dan konstituen terbesar kata, sedangkan sintaksis memiliki konstituen terkecil kata dan konstituen terbesar wacana. Oleh karena itu, ketika kedua cabang ilmu ini memiliki persamaan dalam mempelajari seluk beluk pembentukan (kata dan kata dalam kalimat), maka tentunya terdapat hubungan diantara keduanya.

Sumber Referensi:
Arronoff, Mark and Fudeman. 2005. What is Morphology?. Australia: Blackwell Publishing.
Booij, Geert. 2005. The Grammar of Words. Oxford: University Press.
Haspelmath, Martin. 2002. Understanding Morphology?. Oxford: University Press.

By: Seradona


Sebuah Ringkasan: Taksonomi Tindak Tutur (Speech Acts) Searle 1969

Searle (1969) mengklasifikasikan tindak tutur ke dalam 5 kategori atau yang dinamakan makrofungsi (Cruse, 2004). Jenis-jenis tindak tutu...